Ukuran 14,5 X20,5 cm
Halaman 508 hlm
Gus mus dalam memberikan solusi problematika
keumatan disampaikan dengan rinkas dan (terasa) menalir serta enak dibaca,
sehina rangkaian arumen dan dalil-dalil fikih yang sebelumnya terasa sulit
dipahami, hadir dengan ‘rasa baru’. Problematika yan ada di buku ini meliputi :
Akidah, Bersuci, Shalat, Puasa, haji, Mobilisasi dana dan Persoalan Ekonomi
Modern, Moralitas dan Toleransi Umat Beraama serta Budaya Kontemporer.
Selama
ini berita yang masih aktual, dan masih menjadi sorotan media massa
adalah peristiwa tentang perselisihan dan perdebatan dalam pemikiran
masalah-masalah keagamaan atau fiqh, yang dalam istilah NU disebut forum
“Bahtsul Masail”. Bahtsul masail ini merupakan salah satu forum diskusi
keagamaan untuk merespon dan memberikan solusi atas problematika aktual
yang muncul dalam kehidupan masyarakat. KH Sahal Mahfudz, Pengurus
Syuriyah PBNU menyebutnya bahwa forum “Bahtsul Masail” merupakan forum
yang dinamis dan demokratis, selalu mengikuti perkembangan, dan trend
hukum yang terjadi di masyarakat.
Siapa yang tidak kenal dengan sosok yang satu ini? K.H.A. Musthofa Bisri yang panggilan akrabnya Gus Mus sudah tidak asing lagi bagi semua kalangan, ia adalah seorang kiai, pelukis, penyair, dan budayawan yang karya-karyanya selalu melambung di media massa baik lokal maupun nasional. Setelah pasca Buya Hamkah, Ali Hasjmi, dan Bahrum Rangkuti, umat Islam Indonesia sangat miskin melahirkan ulama yang dikatakan seniman dan sastrawan. Mungkin tidak banyak yang tahu, jika Gus Mus disamping sebagai sastrawan juga seorang pelukis.
Meskipun sebagai budayawan, penyair, dan pengasuh pondok pesantren, namun pemikiran dan gagasan-gagasan yang diusungnya mampu menandingi, bahkan melebihi wacana-wacana yang diusung oleh para ilmuwan, dan cendikiawan. Jadi tidak semua masyarakat pesantren hanya dianggap sebagai kaum sarungan yang pemikiran dan gagasannya hanya terpaku pada teks klasik saja, melainkan mampu menyesuaikan dengan realitas sosial yang terjadi saat ini.
Dan pada ahir-ahir ini masyarakat pesantren selalu eksis dimana-mana, dan mulai banyak mengaktualisasikan pemikiran, dan gagasannya yang dapat memasung daya kritis seorang santri, sehingga masyarakat pesantren bisa dikatakan seorang yang produktif, dan kritis.
Rois Syuria Nahdhatul Ulama (PB.NU) ini, tidaklah membuat beliau menjadi orang yang rakus terhadap kekuasaan dan memanfaatkan jabatannya. Namun beliau adalah orang yang bisa menjaga jarak dari hal-hal yang sifatnya politis, dan pragmatis. Seperti yang disampaikan dalam tausiyahnya dalam munas alim ulama di Sokolilo kemarin, bahwa persoalan politik di Indonesia sangatlah pelik, dan berengsek sekali, tidak didasari dengan etika-etika politik yang ada.
Kiprah Gus Mus di panggung politik bermula mendapat tawaran dalam bursa pencalonan sebagai anggota legislatif PPP preode 1977-1982 mewakili wilayah Rembang-Blora. Namun meskipun ia mendapat sebuah tawaran yang menggiurkan dan menjanjikan Gus Mus menolaknya. Karena ia merasa belum berpenglaman dan juga belum mempunyai andil di partai.
Buku setebal 525 halaman ini, memang benar-benar hasil garapan kreatif seorang kiai dan budayawan, yang didalamnya mengulas tentang berbagai problematika kekinian, dengan tanpa meninggalkan keotentikan dan nilai historisitas teks klasik (kitab kuning).
Adapun pemikiran-pemikiran yang ia usung selama ini, memang benar-benar dimanfaatkan untuk meningkatkan, dan memperluas ilmunya untuk mengabdi pada masyarakat. Bagaimana masyarakat bisa mengerti, dan paham terhadap hukum fiqh pada umumnya.
Dengan ketajaman analisis inilah, Gus Mus tidak hanya mampu menawarkan jawaban-jawaban dari bermacam problem yang datang padanya secara normatif. Melainkan ia berhasil memberikan kerangka nuansa pemikiran untuk mengatasi masalah-masalah keagamaan keseharian kita secara rinci dan terurai secara rapi.
Dan perlu dicatat, bahwa penjelasan atau jawaban-jawaban yang ia berikan semata-mata penjelasan apa adanya yang dirangkai dengan dalil-dalilnya. Sehingga jawaban-jawaban beliau tidak begitu saja mengatakan ini haram dan itu halal, ini wajib dan itu sunnah.
Selain itu juga, dalam bab akhir Gus Mus dengan sangat gamblang memaparkan berbagai persoalan-persoalan budaya kontemporer yang sedang dihadapi oleh umat Islam. Seperti dalam bab VIII halaman 520, ada seorang penanya mengutarakan kegundahan dalam kehidupan sehari-harinya yaitu, berkenaan dengan maraknya gambar-gambar panas (porno), dan melakukan onani.
Di saat memberikan jawaban atas pertanyaan ini, Gus Mus menentukan haram tidaknya melihat gambar porno dan melakukan onani, yaitu mengikuti pendapat para ulama. Karena pendapat para ulama sudah sepakat, melihat gambar-gambar panas (porno), dan melakukakan onani hukumnya haram. Karena manfaat dan mudharatnya yang jelas lebih banyak madaratnya. Dan perbuatan tersebut, telah dilarang oleh agama, dan dapat merusak moral para generasi muda pada umumnya. Perbuatan yang dilarang oleh agama.
Siapa yang tidak kenal dengan sosok yang satu ini? K.H.A. Musthofa Bisri yang panggilan akrabnya Gus Mus sudah tidak asing lagi bagi semua kalangan, ia adalah seorang kiai, pelukis, penyair, dan budayawan yang karya-karyanya selalu melambung di media massa baik lokal maupun nasional. Setelah pasca Buya Hamkah, Ali Hasjmi, dan Bahrum Rangkuti, umat Islam Indonesia sangat miskin melahirkan ulama yang dikatakan seniman dan sastrawan. Mungkin tidak banyak yang tahu, jika Gus Mus disamping sebagai sastrawan juga seorang pelukis.
Meskipun sebagai budayawan, penyair, dan pengasuh pondok pesantren, namun pemikiran dan gagasan-gagasan yang diusungnya mampu menandingi, bahkan melebihi wacana-wacana yang diusung oleh para ilmuwan, dan cendikiawan. Jadi tidak semua masyarakat pesantren hanya dianggap sebagai kaum sarungan yang pemikiran dan gagasannya hanya terpaku pada teks klasik saja, melainkan mampu menyesuaikan dengan realitas sosial yang terjadi saat ini.
Dan pada ahir-ahir ini masyarakat pesantren selalu eksis dimana-mana, dan mulai banyak mengaktualisasikan pemikiran, dan gagasannya yang dapat memasung daya kritis seorang santri, sehingga masyarakat pesantren bisa dikatakan seorang yang produktif, dan kritis.
Rois Syuria Nahdhatul Ulama (PB.NU) ini, tidaklah membuat beliau menjadi orang yang rakus terhadap kekuasaan dan memanfaatkan jabatannya. Namun beliau adalah orang yang bisa menjaga jarak dari hal-hal yang sifatnya politis, dan pragmatis. Seperti yang disampaikan dalam tausiyahnya dalam munas alim ulama di Sokolilo kemarin, bahwa persoalan politik di Indonesia sangatlah pelik, dan berengsek sekali, tidak didasari dengan etika-etika politik yang ada.
Kiprah Gus Mus di panggung politik bermula mendapat tawaran dalam bursa pencalonan sebagai anggota legislatif PPP preode 1977-1982 mewakili wilayah Rembang-Blora. Namun meskipun ia mendapat sebuah tawaran yang menggiurkan dan menjanjikan Gus Mus menolaknya. Karena ia merasa belum berpenglaman dan juga belum mempunyai andil di partai.
Buku setebal 525 halaman ini, memang benar-benar hasil garapan kreatif seorang kiai dan budayawan, yang didalamnya mengulas tentang berbagai problematika kekinian, dengan tanpa meninggalkan keotentikan dan nilai historisitas teks klasik (kitab kuning).
Adapun pemikiran-pemikiran yang ia usung selama ini, memang benar-benar dimanfaatkan untuk meningkatkan, dan memperluas ilmunya untuk mengabdi pada masyarakat. Bagaimana masyarakat bisa mengerti, dan paham terhadap hukum fiqh pada umumnya.
Dengan ketajaman analisis inilah, Gus Mus tidak hanya mampu menawarkan jawaban-jawaban dari bermacam problem yang datang padanya secara normatif. Melainkan ia berhasil memberikan kerangka nuansa pemikiran untuk mengatasi masalah-masalah keagamaan keseharian kita secara rinci dan terurai secara rapi.
Dan perlu dicatat, bahwa penjelasan atau jawaban-jawaban yang ia berikan semata-mata penjelasan apa adanya yang dirangkai dengan dalil-dalilnya. Sehingga jawaban-jawaban beliau tidak begitu saja mengatakan ini haram dan itu halal, ini wajib dan itu sunnah.
Selain itu juga, dalam bab akhir Gus Mus dengan sangat gamblang memaparkan berbagai persoalan-persoalan budaya kontemporer yang sedang dihadapi oleh umat Islam. Seperti dalam bab VIII halaman 520, ada seorang penanya mengutarakan kegundahan dalam kehidupan sehari-harinya yaitu, berkenaan dengan maraknya gambar-gambar panas (porno), dan melakukan onani.
Di saat memberikan jawaban atas pertanyaan ini, Gus Mus menentukan haram tidaknya melihat gambar porno dan melakukan onani, yaitu mengikuti pendapat para ulama. Karena pendapat para ulama sudah sepakat, melihat gambar-gambar panas (porno), dan melakukakan onani hukumnya haram. Karena manfaat dan mudharatnya yang jelas lebih banyak madaratnya. Dan perbuatan tersebut, telah dilarang oleh agama, dan dapat merusak moral para generasi muda pada umumnya. Perbuatan yang dilarang oleh agama.
FIKIH KESEHARIAN GUS MUS bisa Anda dapatkan di
Toko Buku Aswaja Surabaya | Hub. 0852.3161.2096
Jangan lupa kunjungi juga buku kami : Jual Buku MEMBEDAH BID’AH DAN TRADISI | Toko Buku Aswaja Surabaya
Toko Buku Aswaja Surabaya | Hub. 0852.3161.2096
Jangan lupa kunjungi juga buku kami : Jual Buku MEMBEDAH BID’AH DAN TRADISI | Toko Buku Aswaja Surabaya